Minggu, 04 April 2010

Culture Lag, Sebuah Masalah Sosial yang Begitu Nyata

Dalam kehidupannya, manusia pada hakekatnya selalu dihadapkan pada berbagai masalah yang merupakan hambatan dalam usahanya untuk mencapai sesuatu yang diinginkannya, menghadapi kesukaran-kesukaran yang tidak dapat dipecahkannya dengan menggunakan cara-cara yang biasanya berlaku, menghadapi kenyataan bahwa berbagai hal yang biasanya berlaku telah berubah atau terhambat pelaksanaannya dan berbagai masalah lainnya. Masalah – masalah tersebut dapat berwujud masalah sosial, masalah moral, masalah politik, masalah ekonomi, masalah agama, atau masalah – masalah lainnya.

Pembeda masalah – masalah sosial dari masalah – masalah lainnya adalah masalah – masalah sosial selalu berkaitan dengan nilai-nilai moral dan pranata-pranata sosial, serta selalu ada kaitannya dengan hubungan-hubungan manusia dan dengan konteks-konteks normatif di mana hubungan-hubungan manusia itu terwujud.

Perubahan dahsyat yang dibawa oleh arus modernisasi dan tengah dialami oleh bangsa kita ini boleh disebut sebagai problem kultural. Perubahan ini tidak lain menyangkut "krisis nilai" yang dianggap sebagai wilayah komprehensif dari berbagai unsur kehidupan masyarakat yang dapat menunjukkan berbudaya atau tidaknya sebuah bangsa. Konflik etnis dan agama yang terjadi akhir-akhir ini dan kelihatannya demikian sulit diatasi jelas adalah hasil ungkapan nilai-nilai kultural tertentu. Faktor ekonomi, kebijakan politik regional, dan sentimen-sentimen atas posisi jabatan tentu saja termasuk energi-energi yang sangat kuat dalam memicu konflik. Namun cara berpikir, mengendalikan emosi, dan bertindak dari masyarakat (yang kesatuan dari ketiga unsur inilah yang membentuk "nilai kultural") pada akhirnya merupakan dasar penentu terjadi atau tidaknya konflik-konflik tersebut.

Nilai-nilai kultural, jelas tidak muncul secara alamiah. Sebagaimana bangsa Indonesia tidak eksis begitu saja tanpa sebab. Selalu saja ada relasi satu dengan lain hal yang menyebabkan munculnya sesuatu, yang dalam hal ini menjadi kultur. Karenanya, apa yang sebut dengan problem kultural adalah "konstruksi argumentatif" yang terus berinteraksi antara sikap penolakan, pengakuan, pragmatis, kooperatif atau nonkooperatif, dan seterusnya. Akan tetapi ketika pola interaktif berubah kontra-aktif yang membawa korban fisik maka di sini tercipta sebuah kondisi yang nonargumentatif, yakni tindakan-tindakan yang irasional. Artinya antarpihak tidak bisa lagi menerima perbedaan-perbedaan sebagai realitas berbangsa. Sudah sekian lamanya masyarakat tidak terdidik di dalam menerima perbedaan gagasan dan kepentingan secara sadar. Tatanan atau nilai-kultur masyarakat kita sudah terbentuk oleh wacana "keesaan" atau "keunggulan etis" yang diciptakan oleh elite penguasa dan kelompok-kelompok dominan yang mendukungnya. Tatanan ini bisa dikatakan sengaja dikonstruksi sedemikian rupa termasuk dengan upaya interpretasi sejarah yang sepihak. Tekanan sejarah, terutama pada pencarian nilai "kesatuan" wilayah Indonesia telah dibelokkan pada wilayah substansial kendati konsep itu hanya merupakan alat untuk menuju cita-cita dasar yaitu kemerdekaan manusia dan kehidupan berbangsa secara damai.

Konsep kesatuan atau nasionalisme sebagai ideologi termasuk yang dianggap nilai luhur yang membangun kesadaran akan sejarah asal-usul "kebudayaan nasional." Meskipun perjuangan menuju kemerdekaan tidak lain adalah kemerdekaan manusia itu sendiri untuk hidup bebas-tidak dijajah. Akan tetapi, selama manusia dijajah jelaslah tidak akan menjadi manusia dalam arti yang sesungguhnya. Tatanan negara, kebudayaan dan nilai kemanusiaan merupakan ramuan kehidupan berbangsa yang mendapat tekanan begitu kuat dalam wacana-wacana perjuangan prakemerdekaan. Semangat religius maupun sekular diperhadapkan dan diargumentasikan demi mencapai sebuah kesatuan tekad dan visi. Upaya seperti ini pastilah muncul berdasarkan alasan yang sangat konkret, historik dan terutama karena sadar sekali akan arti menjadi "manusia bebas."

Kebudayaan nasional dalam praktik kekuasaan Orde Baru kelihatannya telah digunakan sebagai tujuan hidup bernegara, tetapi pada waktu yang sama sebenarnya ia hanya menjadi alat formal atau sebagai legitimasi oleh pemerintah untuk menentukan kebijakan kulturalnya. Dengan kata lain, kebijakan struktural lebih menentukan nilai kultural. Pada dasarnya, konsep kesatuan sebagai ideologi nasional tidak bisa dipaksakan atau menentukan wilayah kultural ketika manusia telah memiliki kemerdekaan atau kebebasan dalam berkreasi. Setiap penciptaan senantiasa memerlukan ruang yang bebas secara struktural.

Kenyataannya selama ini kebijakan kebudayaan nasional apakah itu lewat kurikulum pendidikan ataupun penertiban atas kreasi-kreasi seni khususnya lewat sensor-sensor, telah menciptakan kekeringan daya kreasi dan daya kritis masyarakat. Ruang argumentatif di mana berbagai pihak bisa memperoleh kesempatan untuk belajar bagaimana menghadapi gagasan dan kepentingan yang berbeda telah dibekukan. Kebijakan kebudayaan nasional memiliki andil yang sangat besar dalam keterbelakangan kita untuk merespons realitas secara kritis dan hanya menciptakan manusia-manusia yang jika tidak sekadar loyal terhadap atasan maka mudah terbakar oleh isu-isu. Kesenian dan kebudayaan daerah pun seperti yang terlihat sekarang pada umumnya hanyalah berkembang dalam pola konsumen pariwisata. Sebagai sasaran yang paling vital terhadap kebudayaan nasional sebenarnya tertuju pada ketidaklogisan dari frase "kebudayaan nasional" itu sendiri. Secara empiris, disadari betul bahwa yang namanya "kebudayaan nasional" itu tidak ada. Atau ia hanya mungkin hadir sebagai wacana ideologis yang sekarang sudah harus dibongkar. Di Indonesia, kebudayaan yang ada secara mencolok ialah kebudayaan-kebudayaan local yang pada umumnya masih bersifat sederhana, tradisional, dsb.

Apabila kondisi yang telah disebutkan di atas dibenturkan dengan pengaruh kebudayaan dari Barat yang dibawa oleh arus modernisasi yang kini sedang melanda masyarakat di Indonesia, bukan tidak mungkin jika sebagian masyarakat di Indonesia khususnya mereka yang tinggal di daerah-daerah terpencil akan mengalami culture lag (ketertinggalan kebudayaan). Culture lag di sini terjadi oleh karena kebudayaan lokal masyarakat belum mampu mengikuti perubahan yang dibawa oleh arus modernisasi. Maka tidak heran jika modernisasi hanya berkembang di kota-kota besar dan sebagian kecil daerah. Selebihnya, sebagian besar mereka yang tinggal di daerah-dareah yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan local cenderung akan mengalami “gaptek” oleh karena perubahan yang dibawa oleh arus modernisasi tersebut dinilai tidak sesuai untuk dikembangkan dikebudayaan local mereka. Bukan tidak mungkin jika masalah tersebut semakin kompleks sehingga dapat menimbulkan sebuah masalah sosial di masyarakat.

Sebuah Kritik untuk Globalisasi

ungkapan gerakanantiglobalisasi” yang dimunculkan oleh perusahaan media, dan gerakan masyarakat dalam, khususnya bukan-NGO. Terutama, hal ini dari sebuah gerakan perlawanan neoliberalisme untuk menciptakan bentuk demokrasi global baru. Ironisnya, pernyataan tersebut paling banyak diartikan oleh Amerika Serikat, sejak ada media yang menyusun berita-berita dalam kerangka propagandistik (“perdagangan bebasdanpasar bebas”) dan kerangka neoliberalis yang bukan digunakan secara umum. Hasilnya pertemuan yang sering kali didengar orang dengan menggunakan ekspresiGerakan GlobalisasidanGerakan Antiglobalisasidapat diubah.

Sebenarnya, jika globalisasi yang dimaksudkan adalah penghapusan perbatasan dan gerakan bebas masyarakat, posisi dan ide, yang dijelaskan bahwa tidak hanya merupakan sebuah produk gerakan globalisasi, tetapi banyaknya kelompok yang terlibat di dalamnya, termasuk salah satunya adalah kelompok radikal. Namun, lebih jauhnya apa yang mendukung globalisasi pada umumnya daripada mendukung IMF atau WTO. Gerakan asli nyata, misalnya pada jaringan kerja Internasional yang disebut Tindakan Global Masyarakat atau People Global Action (PGA). PGA yang muncul dari tahun 1998 Zapatista Encuentro di Barcelona, dan termasuk mendirikan anggota-anggota yang tidak hanya sebagai kelompok Anarkhis di Spanyol, Inggris, dan Jerman, tetapi seperti perserikatan petani sosialis Gandhian, Perserikatan Guru Argentina, Kelompok Asli seperti Maori dari Selandia Baru, dan (Federasi Asli) Ekuador, Gerakan Petani Brasil, dan jaringan kerja komunitas yang didirikan secara lepas oleh budak-budak Amerika Serikat dan Amerika Selatan. PGA yang telah melakukan tindakan pertama kali sejak 18 Januari-30 November.

Internasionalisme juga digambarkan dalam gerakan penuntut. Di sini hanya terlihat tiga panggung besar kelompok Italia Ya Basta!: Jaminan UmumPendapatan Awalsebuah hukum kewarganegaraan global yang akan zmenjamin gerakan bebas masyarakat lintas batas dan hukum bebas yang mengakses teknologi baru. Pendemo telah mencoba untuk mengambil perhatiannya secara khusus terhadap kenyataan bahwa tujuan Neoliberal dariGlobalisasihanya sebatas dalam arus bebas komoditas dan sebenarnya untuk meningkatkan penghalang arus perlawanan masyarakat, informasi, dan ide. Hal ini tidak terlalu mengejutkan, jika bukan kemungkinan secara efektif untuk menahan kelompok masyarakat di dunia dimana adanya jaminan sosial yang dapat dipindahkan secara bertahap, tidak adanya modal insentif bagi perusahaan-perusahaan seperti Nike atau The Gap untuk menggerakan produksi yang dimulainya saat itu.

Perlawanan tajam melalui bentuk Internasionalis lampau dimana gerakan ini tidak hanya khusus untuk mengadvokasi ekspor. Banyaknya teknik gerakan yang pertama dibangun di Global Selatan. Media Internasional telah berhenti menuding tindakan kekerasan langsung yang mereka kira. Media Amerika Serikat secara memaksa meminta untuk tempo yang lama, meskipun kenyataan bahwa telah dua tahun semakin meningkatnya jumlah pendemo di Amerika Serikat, hal tersebut masih kemungkinan akan datangnya seseorang yang terluka oleh pendemo.

Di sini, sering kali adanya kesadaran yang mendorong untuk merusak paradigma yang ada. Dimana sering terlihat bahwa hanya secara alternatif untuk menunggu barisan lama dengan ditandai penentang masyarakat, bukan dari kekerasan Gandhian atau pemberontakan sekaligus kelompok seperti Direct Action Network, Reclaim The Streets, Black Blocs atau Ya Basta! Semua kelompok itu mengarahkan untuk coba mengeluarkan daerah baru di sekitarnya. Mereka mencoba menemukan apa yang disebutPerserikatan Barusebagai protes dasar dari apa yang mungkin jika tidak dapat dipertimbangkan dan apa yang hanya bisa disebut bukan kekerasan peperangan.

Sebenarnya, kelompok Zapatista yang memunculkan lebih banyak pergerakan, misalnya mereka dapat dijadikan teladan dengan baik. Mereka mengira dengan sedikitnya kekerasanangkatan perangsatu dapat digambarkan. Strategi baru ini secara sempurna, disetujui melalui gerakan inspirasi anarkhis umum, yang sedikitnya tentang perampasan kekuatan negara melalui pembongkaran, delegitimisasi, dan perlucutan mekanisme peraturan dengan memenangkan ruang otonomi besar darinya. Selain itu, sulitnya untuk mengingat sekarang bahwa selama 19 abad, anarkhis merupakan kelompok inti revolusioner kiridimana banyaknya partai Marxist dengan cepatnya menjadi sosial demokrat reformis.

Selama 20 abad, nampak tajam bahwa banyaknya kekerasan dalam sejarah manusia. Hampir tidak mengejutkan, seperti penekanan terakhir efektivitas politik menjadi kemampuan untuk memelihara dan menciptakan mesin pembunuh bahwa anarkhis secara cepat terlihat tidak relevan.

Sebenarnya, harus diakui, bahwa globalisasi mengandung potensi yang sangat baik bagi setiap negara untuk maju dan berkembang. Globalisasi, misalnya telah mendorong tumbuhnya masyarakat sipil yang menyadari perannya, didalam proses demokratisasi. Keterbukaan yang menjadi ciri globalisasi juga telah memudahkan pergerakan barang, jasa, informasi/komunikasi dan sebagian manusia lebih cepat, sehingga membuat komunikasi, transportasi lebih murah. Alih teknologi, juga dapat berlangsung lebih cepat.

Meskipun globalisasi menjanjikan kemakmuran, yang kemudian tampak (sampai sekarang), justru dampak negatif dari globalisasi itu sendiri. Dari berbagai negara Amerika Latin, sampai ke Rusia dan (mungkin) juga bagi Indonesia, kemakmuran yang dijanjikan itu belum tampak. Dampaknya, telah menimbulkan kegelisahan dan keresahan sosial dan bahkan konflik etnis, sebagaimana terjadi di Indonesia.

Globalisasi, akan memunculkan perbedaan kaya-miskin yang semakin besar. Baik di lingkungan internal negara itu sendiri maupun antara berbagai negara. Sebagai contoh pemain bola basket Chicago Bull, Michael Jordan. Berkat globalisasi, permainan bola basket dan namanya dikenal di seluruh dunia. Michael Jordan berpenghasilan 40 juta dolar AS setahun. Sebabnya? T-shirt-nya dibeli oleh anak-anak penggemar bola basket, dari Jakarta sampai Moskow. Sebagian penghasilannya, sudah tentu untuk membayar pajak bagi Pemerintah AS. Apa artinya? Anak-anak di Jakarta dan Moskow ikut membayar pajak bagi Pemerintah AS. Hal yang sama, sudah tentu kalau kita makan di McDonald ataupun minum Coca-cola. Secara tidak kita sadari, kita ikut mendatangkan pendapatan pajak bagi Pemerintah AS. Bagaimana dengan hal demikian??

Dampaknya, sudah tentu terjadinya jurang kaya-miskin yang semakin besar. Amerika Serikat akan semakin menjadi kaya, oleh karena pendapatan pajaknya berasal dari seluruh dunia. Demikian juga Michael Jordan. Di AS, orang-orang semacam Michael Jordan mungkin tidak terlalu banyak, namun orang-orang yang "homeless" yang tidur di emperan toko dan makannya dari program " food-stamp" (program bagi orang yang tidak mampu) kita temui dimana-mana. Negara-negara yang sedang berkembang (yang miskin) dan orang-orang yang miskin, hanya mengandalkan apa yang disebut sebagai "trickle-down effect" dari kekayaan yang melimpah yang dimiliki oleh sebuah negara ataupun orang yang kaya. Gap kaya-miskin semakin menganga.

Negara berkembang memang tidak pantas terus menuduh negara maju atas segala kelemahan yang mereka miliki karena kelemahan tersebut seringkali bersumber dari ketidaksiapan menanggapi apa yang ditawarkan negara maju. Namun, mengapa mereka mau saja menerima apapun yang bersumber dari negara maju?

Di balik manfaatnya, globalisasi akan menghadirkan ketegangan-ketegangan diantara elemen domestik ataupun dalam hubungan antarnegara. Mantan Sekjen PBB Kofi Annan sempat mengingatkan globalisasi bisa menjadi bumerang bila nasib milyaran orang miskin diabaikan dan negara kaya mau menang sendiri.

Di tengah kesulitan, negara-negara berkembang termasuk Indonesia seharusnya mencari model-model kebijaksanaan ekonomi yang pas agar pembangunan berjalan langgeng. Tetapi sayang, kebanyakan dari negara berkembang tersebut sudah masuk dalam perangkap skenario negara industri hingga tidak bisa berbuat banyak. Jadi perubahan sikap atas globalisasi hanya mungkin terwujud dari generasi muda di negara maju itu sendiri

Masalah yang pokok adalah, bahwa globalisasi, sebagaimana bentuknya sekarang, tidak akan mampu menciptakan keadilan sosial global, sehingga banyak negara yang sedang berkembang akan menjadi "koloni" negara maju. Jurang perbedaan kaya-miskin, justru akan semakin besar, kalau masalah dampak globalisasi ini tidak memperoleh perhatian global juga. Meskipun dunia sudah tanpa batas, namun sebuah rekayasa masih dapat berkembang, sehingga tatanan globalisasi itu lebih menguntungkan negara maju dibanding dengan negara-negara yang sedang berkembang. Masalah ini, sudah tentu akan menjadi masalah yang serius, oleh karena instabilitas dunia akan terganggu.

WTO (World Trade Organization) diharapkan dapat berperan menciptakan "the rule of the games"-nya, sehingga perdagangan internasional berjalan adil. Jangan ada kesan, sementara negara yang sedang berkembang dituntut untuk membuka pasarnya sebebas-bebasnya, sementara negara maju sendiri menutup pasarnya. Misalnya, dengan mengintrodusir sistem kuota, atau alasan lain yang tidak jelas, yang sering (ternyata) memang kebutuhan negara maju itu sendiri untuk melindungi industri dalam negerinya. Demikian juga prinsip-prinsip universal, dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial (misalnya program Jamsostek, Askes dan Taspen), yang di negara maju diselenggarakan berdasar wajib (compulsary), di negara yang sedang berkembang dituntut untuk diselenggarakan berdasar kepesertaan sukarela (voluntary membership). Sebabnya, karena mereka (tentunya) mengincar dana yang terkumpul dari program jaminan sosial itu.

Bagaimana menciptakan tataanan dunia yang adil, meskipun mungkin masih ditingkat impian, inilah barangkali agenda bangsa- bangsa di dunia, kalau kita hendak menciptakan dunia yang aman dan tenteram. Karena itu, kita dapat menyaksikan, bahwa setiap ada Sidang WTO, LSM yang anti-globalisasi selalu mendemo pertemuan itu.