Minggu, 04 April 2010

Sebuah Kritik untuk Globalisasi

ungkapan gerakanantiglobalisasi” yang dimunculkan oleh perusahaan media, dan gerakan masyarakat dalam, khususnya bukan-NGO. Terutama, hal ini dari sebuah gerakan perlawanan neoliberalisme untuk menciptakan bentuk demokrasi global baru. Ironisnya, pernyataan tersebut paling banyak diartikan oleh Amerika Serikat, sejak ada media yang menyusun berita-berita dalam kerangka propagandistik (“perdagangan bebasdanpasar bebas”) dan kerangka neoliberalis yang bukan digunakan secara umum. Hasilnya pertemuan yang sering kali didengar orang dengan menggunakan ekspresiGerakan GlobalisasidanGerakan Antiglobalisasidapat diubah.

Sebenarnya, jika globalisasi yang dimaksudkan adalah penghapusan perbatasan dan gerakan bebas masyarakat, posisi dan ide, yang dijelaskan bahwa tidak hanya merupakan sebuah produk gerakan globalisasi, tetapi banyaknya kelompok yang terlibat di dalamnya, termasuk salah satunya adalah kelompok radikal. Namun, lebih jauhnya apa yang mendukung globalisasi pada umumnya daripada mendukung IMF atau WTO. Gerakan asli nyata, misalnya pada jaringan kerja Internasional yang disebut Tindakan Global Masyarakat atau People Global Action (PGA). PGA yang muncul dari tahun 1998 Zapatista Encuentro di Barcelona, dan termasuk mendirikan anggota-anggota yang tidak hanya sebagai kelompok Anarkhis di Spanyol, Inggris, dan Jerman, tetapi seperti perserikatan petani sosialis Gandhian, Perserikatan Guru Argentina, Kelompok Asli seperti Maori dari Selandia Baru, dan (Federasi Asli) Ekuador, Gerakan Petani Brasil, dan jaringan kerja komunitas yang didirikan secara lepas oleh budak-budak Amerika Serikat dan Amerika Selatan. PGA yang telah melakukan tindakan pertama kali sejak 18 Januari-30 November.

Internasionalisme juga digambarkan dalam gerakan penuntut. Di sini hanya terlihat tiga panggung besar kelompok Italia Ya Basta!: Jaminan UmumPendapatan Awalsebuah hukum kewarganegaraan global yang akan zmenjamin gerakan bebas masyarakat lintas batas dan hukum bebas yang mengakses teknologi baru. Pendemo telah mencoba untuk mengambil perhatiannya secara khusus terhadap kenyataan bahwa tujuan Neoliberal dariGlobalisasihanya sebatas dalam arus bebas komoditas dan sebenarnya untuk meningkatkan penghalang arus perlawanan masyarakat, informasi, dan ide. Hal ini tidak terlalu mengejutkan, jika bukan kemungkinan secara efektif untuk menahan kelompok masyarakat di dunia dimana adanya jaminan sosial yang dapat dipindahkan secara bertahap, tidak adanya modal insentif bagi perusahaan-perusahaan seperti Nike atau The Gap untuk menggerakan produksi yang dimulainya saat itu.

Perlawanan tajam melalui bentuk Internasionalis lampau dimana gerakan ini tidak hanya khusus untuk mengadvokasi ekspor. Banyaknya teknik gerakan yang pertama dibangun di Global Selatan. Media Internasional telah berhenti menuding tindakan kekerasan langsung yang mereka kira. Media Amerika Serikat secara memaksa meminta untuk tempo yang lama, meskipun kenyataan bahwa telah dua tahun semakin meningkatnya jumlah pendemo di Amerika Serikat, hal tersebut masih kemungkinan akan datangnya seseorang yang terluka oleh pendemo.

Di sini, sering kali adanya kesadaran yang mendorong untuk merusak paradigma yang ada. Dimana sering terlihat bahwa hanya secara alternatif untuk menunggu barisan lama dengan ditandai penentang masyarakat, bukan dari kekerasan Gandhian atau pemberontakan sekaligus kelompok seperti Direct Action Network, Reclaim The Streets, Black Blocs atau Ya Basta! Semua kelompok itu mengarahkan untuk coba mengeluarkan daerah baru di sekitarnya. Mereka mencoba menemukan apa yang disebutPerserikatan Barusebagai protes dasar dari apa yang mungkin jika tidak dapat dipertimbangkan dan apa yang hanya bisa disebut bukan kekerasan peperangan.

Sebenarnya, kelompok Zapatista yang memunculkan lebih banyak pergerakan, misalnya mereka dapat dijadikan teladan dengan baik. Mereka mengira dengan sedikitnya kekerasanangkatan perangsatu dapat digambarkan. Strategi baru ini secara sempurna, disetujui melalui gerakan inspirasi anarkhis umum, yang sedikitnya tentang perampasan kekuatan negara melalui pembongkaran, delegitimisasi, dan perlucutan mekanisme peraturan dengan memenangkan ruang otonomi besar darinya. Selain itu, sulitnya untuk mengingat sekarang bahwa selama 19 abad, anarkhis merupakan kelompok inti revolusioner kiridimana banyaknya partai Marxist dengan cepatnya menjadi sosial demokrat reformis.

Selama 20 abad, nampak tajam bahwa banyaknya kekerasan dalam sejarah manusia. Hampir tidak mengejutkan, seperti penekanan terakhir efektivitas politik menjadi kemampuan untuk memelihara dan menciptakan mesin pembunuh bahwa anarkhis secara cepat terlihat tidak relevan.

Sebenarnya, harus diakui, bahwa globalisasi mengandung potensi yang sangat baik bagi setiap negara untuk maju dan berkembang. Globalisasi, misalnya telah mendorong tumbuhnya masyarakat sipil yang menyadari perannya, didalam proses demokratisasi. Keterbukaan yang menjadi ciri globalisasi juga telah memudahkan pergerakan barang, jasa, informasi/komunikasi dan sebagian manusia lebih cepat, sehingga membuat komunikasi, transportasi lebih murah. Alih teknologi, juga dapat berlangsung lebih cepat.

Meskipun globalisasi menjanjikan kemakmuran, yang kemudian tampak (sampai sekarang), justru dampak negatif dari globalisasi itu sendiri. Dari berbagai negara Amerika Latin, sampai ke Rusia dan (mungkin) juga bagi Indonesia, kemakmuran yang dijanjikan itu belum tampak. Dampaknya, telah menimbulkan kegelisahan dan keresahan sosial dan bahkan konflik etnis, sebagaimana terjadi di Indonesia.

Globalisasi, akan memunculkan perbedaan kaya-miskin yang semakin besar. Baik di lingkungan internal negara itu sendiri maupun antara berbagai negara. Sebagai contoh pemain bola basket Chicago Bull, Michael Jordan. Berkat globalisasi, permainan bola basket dan namanya dikenal di seluruh dunia. Michael Jordan berpenghasilan 40 juta dolar AS setahun. Sebabnya? T-shirt-nya dibeli oleh anak-anak penggemar bola basket, dari Jakarta sampai Moskow. Sebagian penghasilannya, sudah tentu untuk membayar pajak bagi Pemerintah AS. Apa artinya? Anak-anak di Jakarta dan Moskow ikut membayar pajak bagi Pemerintah AS. Hal yang sama, sudah tentu kalau kita makan di McDonald ataupun minum Coca-cola. Secara tidak kita sadari, kita ikut mendatangkan pendapatan pajak bagi Pemerintah AS. Bagaimana dengan hal demikian??

Dampaknya, sudah tentu terjadinya jurang kaya-miskin yang semakin besar. Amerika Serikat akan semakin menjadi kaya, oleh karena pendapatan pajaknya berasal dari seluruh dunia. Demikian juga Michael Jordan. Di AS, orang-orang semacam Michael Jordan mungkin tidak terlalu banyak, namun orang-orang yang "homeless" yang tidur di emperan toko dan makannya dari program " food-stamp" (program bagi orang yang tidak mampu) kita temui dimana-mana. Negara-negara yang sedang berkembang (yang miskin) dan orang-orang yang miskin, hanya mengandalkan apa yang disebut sebagai "trickle-down effect" dari kekayaan yang melimpah yang dimiliki oleh sebuah negara ataupun orang yang kaya. Gap kaya-miskin semakin menganga.

Negara berkembang memang tidak pantas terus menuduh negara maju atas segala kelemahan yang mereka miliki karena kelemahan tersebut seringkali bersumber dari ketidaksiapan menanggapi apa yang ditawarkan negara maju. Namun, mengapa mereka mau saja menerima apapun yang bersumber dari negara maju?

Di balik manfaatnya, globalisasi akan menghadirkan ketegangan-ketegangan diantara elemen domestik ataupun dalam hubungan antarnegara. Mantan Sekjen PBB Kofi Annan sempat mengingatkan globalisasi bisa menjadi bumerang bila nasib milyaran orang miskin diabaikan dan negara kaya mau menang sendiri.

Di tengah kesulitan, negara-negara berkembang termasuk Indonesia seharusnya mencari model-model kebijaksanaan ekonomi yang pas agar pembangunan berjalan langgeng. Tetapi sayang, kebanyakan dari negara berkembang tersebut sudah masuk dalam perangkap skenario negara industri hingga tidak bisa berbuat banyak. Jadi perubahan sikap atas globalisasi hanya mungkin terwujud dari generasi muda di negara maju itu sendiri

Masalah yang pokok adalah, bahwa globalisasi, sebagaimana bentuknya sekarang, tidak akan mampu menciptakan keadilan sosial global, sehingga banyak negara yang sedang berkembang akan menjadi "koloni" negara maju. Jurang perbedaan kaya-miskin, justru akan semakin besar, kalau masalah dampak globalisasi ini tidak memperoleh perhatian global juga. Meskipun dunia sudah tanpa batas, namun sebuah rekayasa masih dapat berkembang, sehingga tatanan globalisasi itu lebih menguntungkan negara maju dibanding dengan negara-negara yang sedang berkembang. Masalah ini, sudah tentu akan menjadi masalah yang serius, oleh karena instabilitas dunia akan terganggu.

WTO (World Trade Organization) diharapkan dapat berperan menciptakan "the rule of the games"-nya, sehingga perdagangan internasional berjalan adil. Jangan ada kesan, sementara negara yang sedang berkembang dituntut untuk membuka pasarnya sebebas-bebasnya, sementara negara maju sendiri menutup pasarnya. Misalnya, dengan mengintrodusir sistem kuota, atau alasan lain yang tidak jelas, yang sering (ternyata) memang kebutuhan negara maju itu sendiri untuk melindungi industri dalam negerinya. Demikian juga prinsip-prinsip universal, dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial (misalnya program Jamsostek, Askes dan Taspen), yang di negara maju diselenggarakan berdasar wajib (compulsary), di negara yang sedang berkembang dituntut untuk diselenggarakan berdasar kepesertaan sukarela (voluntary membership). Sebabnya, karena mereka (tentunya) mengincar dana yang terkumpul dari program jaminan sosial itu.

Bagaimana menciptakan tataanan dunia yang adil, meskipun mungkin masih ditingkat impian, inilah barangkali agenda bangsa- bangsa di dunia, kalau kita hendak menciptakan dunia yang aman dan tenteram. Karena itu, kita dapat menyaksikan, bahwa setiap ada Sidang WTO, LSM yang anti-globalisasi selalu mendemo pertemuan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar